Dibantai 10-0, Kok Malah Minta Maaf


Dibantai sepuluh gol tanpa balas dari Bahrain jelas-jelas menoreh aib bagi namaIndonesia di kancah internasional. Eee...kok masih saja ada personel Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) yang meminta maaf. Kalah ya kalah, dan kekalahan itu memalukan dan memilukan.

Malu hati, tidak perlu menutup muka seraya berkata-kata, cilukbaa. Pilu, lantaran bangsa Indonesia menanggung aib di mata hati dunia sepak bola internasional. "Garuda di dadaku," itu taruhannya.

Kalah ya kalah. Ini laga bola bung, kemungkinannya hanya ada tiga, yakni kalah, menang atau hasil imbang. Kok malah mengajukan permintaan maaf, menuding telah "dikerjain" wasit, menyelimuti diri dengan kata-kata 'Mudah-mudahan semua pihak terbuka mata dan hatinya'.

Gawang Indonesia yang dibobol sepuluh kali oleh Bahhrain (AP)

Sebelum kekalahan memilukan dan memalukan itu bersua di depan mata publik Indonesia, Ketua PSSI Djohar Arifin melontarkan pernyataan soal main mata.Lha, belum pertandingan digelar kok sudah diberi embel-embel stigma bahwa khawatir terjadi aksi main mata. Ujung-ujungnya, Indonesia 0, Bahrain 10, dalam babak kualifikasi Piala Dunia 2014 Zona Asia Grup E, Rabu (29/2).

"Saya minta tim serius. Pertandingan nanti juga ajang seleksi pemain untuk AFF 2012 dan SEA Games 2013. Mereka harus all-out agar tetap bertahan di timnas. Jadi tidak ada alasan bagi Qatar untuk kuatir karena kita tidak akan main mata saat melawan Bahrain," kata Djohar.

Pada bagian lain pernyataannya, Djohar menilai, jika dapat mencuri poin, hal itu tentunya akan mampu memperbaiki posisi Indonesia di peringkat FIFA.

Pernyataan itu jelas-jelas berbobot Contradictio in terminis, maksudnya saling tumpang tindih. Di satu pihak, berharap tidak terjadi aksi mata alias pat gulipat; di lain pihak, berusaha menang untuk mendulang poin agar mampu memperbaiki posisi Indonesia di peringkat FIFA.

Yang memilukan dan memalukan lagi, ada lontaran pernyataan meminta maaf ketika kekalahan telah disajikan dan ditelan oleh publik Indonesia.

"Kami minta maaf kepada seluruh bangsa Indonesia. PSSI sudah berusaha memilih yang terbaik dan memberikan yang terbaik untuk laga terakhir ini. Tim Bahrain bermain lebih baik dan berhasil menang dari kita," ujar Sekretaris Jenderal PSSI, Tri Goestoro, di Jakarta, Kamis (01/3).

Permintaan maaf dan lontaran pernyataan saling tumpang tindih di kamus laga sepak bola, bermakna kurang pada tempatnya.

Alasannya, sepak bola adalah permainan yang hanya dapat diakui dan diterima seperti apa adanya, kemudian diserahkan kepada obyektivitas, artinya tidak ada kepentingan lain selain gelora Garuda di dadaku.

Jauh dari membanggakan, kekalahan 10-0 ini menjadi torehan sejarah gelap gulita bagi timnas juga bagi publik Indonesia.

Hasil memalukan dan memilukan itu menjadi rekor kekalahan terbesar Indonesia sejak tahun 1934. Kekalahan terbesar pasukan Merah Putih terjadi pada tahun 1974, saat Denmark mempermalukan Indonesia 9-0 dalam laga uji coba di Kopenhagen.

Tersengat oleh kekalahan sepuluh gol tanpa balas dari Bahrain, Menteri Pemuda Olahraga Andi Mallarangeng mengaku kecewa dengan melontarkan sekeping harapan agar personel PSSI membuka mata dan menyibak hati.

"Mudah-mudahan semua pihak terbuka mata dan hatinya melihat hasil semalam. Inilah hasil kalau pengurus ribut terus. Seharusnya mereka semua mendahulukan kepentingan sepak bola nasional," ujar Andi.

Mengapa sampai kebobolan sepuluh gol tanpa balas? Ada jawaban obyektifnya. "Dengan adanya dualisme kompetisi, maka timnas yang dibentuk tidak diperkuat oleh pemain-pemain terbaik. Sebagian pemain terbaik yang bermain di kompetisi lain tidak diikutsertakan," kata Menpora.

Secara terang benderang, keok sepuluh gol dari Bahrain, karena ada dualisme kompetisi. Bukan lantas meminta maaf atau melontarkan pernyataan saling tumpang tindih.

Secara obyektif, Timnas Indonesia yang dibanggakan seluruh rakyat Indonesia hanya bisa menurunkan pemain dari kompetisi Indonesian Premier League (IPL) karena adanya konflik di tubuh PSSI.


Diego Michiels tak mampu gantikan para senior (c) AP

Ujung-ujungnya, tidak terdapat nama-nama pemain langganan timnas yang notabene relatif berpengalaman, seperti Bambang PamungkasCristian Gonzalez, dan Boaz Solossa, karena mereka bermain di liga lainnya, Indonesia Super League (ISL).

Secara obyektif, statistik angkat suara. Kedua timnas punya rekor pertemuan yang imbang. Dari lima pertemuan terakhir, Indonesia memperoleh kemenangan dua kali (3-2 pada Piala Presiden 1980, dan 2-1 pada Kualifikasi Piala Asia 2004), sedangkan Bahrain pun sama (3-1 pada Piala Asia 2004, dan 2-0 pada Kualifikasi Piala Dunia 2014), sisanya imbang.

Hasil statistik ini mendorong FIFA melakukan investigasi terkait pertandingan kedua tim. Kemenangan Bahrain sepuluh gol tanpa balas dinilai tak wajar. Perlu digarisbawahi kata "tidak wajar".

FIFA mencurigai hasil tersebut karena dari enam kali pertemuan terakhir kedua tim, Bahrain tidak pernah meraih kemenangan lebih dari dua gol. FIFA berpegang kepada obyektivitas.

"Karena hasil akhir yang tidak wajar dalam kaitannya dengan harapan dan juga sejarah head-to-head (kedua negara), maka FIFA akan melakukan pemeriksaan rutin atas pertandingan ini dan hasilnya," demikian pernyataan FIFA seperti dilansir independent.co.uk.

Tidakkah elite PSSI paham bahwa dengan bermain bola, jiwa manusia Indonesia menjadi bangkit. Menurut filsuf N. Drijarkara (alm), unsur permainan dalam hidup merupakan syarat kebudayaan. Dengan permainan, seluruh unsur kemanusiaan mengalami diri sebagai bebas lepas, bebas merdeka.

Sebagai permainan, sepak bola membebaskan manusia dari keterkungkungan. Sepak bola mampu memerdekakan dan membebaskan manusia Indonesia. Sepak bola menuntun manusia untuk menatap nilai kebenaran, kebebasan dan kemerdekaan diri. Kata Drijarkara, "hanya kebenaranlah yang mampu membuat kita bebas dan merdeka".

Nah, kalau Indonesia 0, Bahrain 10, maka elite PSSI tidak membawa pembebasan dan pemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Publik Indonesia menanti kemenangan agar mampu bersuara lantang di laga internasional, "Garuda di dadaku." 


Sumber : http://www.bola.net/editorial/dibantai-10-0-kok-malah-minta-maaf.html